Tradisi ini dimaksudkan untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa, penjajah Belanda dulu mengembangkan tradisis yang disebut rijsttafel (hidangan serba beras yang disajikan di meja) sebagai simbol kemenonjolan makanan kolonial di Indonesia. Ini merupakan salah satu bentuk negosiasi wajah mereka karena melihat situasi bahwa ntuk bertahan mereka harus melakukan penyesuaian.
Di negara asalanya, konsumsi sehari-hari mereka adalah roti atau bahan lainnya yang terbuat dari gandum. Di Indonesia mereka mendapati realita bahwa orang Indonesia terbiasa mengkonsumsi beras atau bahan lainnya seperti jagung. Dengan kata lain rijsttafel mewakili kelanjutan sejarah interaksi Eropa dengan budaya asli di Indonesia, bahwa masakan yang disajikan kurang lebih berasal dari praktek memasak Indonesia.
Beras sebenarnya dianggap sebagai makanan yang tidak pantas untuk penjajah. Ini karena beras adalah makanan pokok kebanyakn orang Asia. Persoalannya, apa yang mereka makan – roti misalnya – bahan bakunya yakni gandum tidak tersedia melimpah. Karenanya mereka berkompromi dengan beras dengan rijsttafel nya. Mereka makan nasi, namun tetap ingin membedakannya dengan rakyat. Karena itu, diciptakanlah ritual mengkonsumsi nasi ala pesta (Onghokham, 2003).
Di meja disajikan beragam piring dan bumbu dengan melibatkan beberapa koki dan prosesi pegawai, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengkonsumsinya. Rijsttafel sederhana terdiri dari "hanya" enam piring. Yang versi megah biasanya diadakan di tempat-tempat terkait dengan budaya elit Belanda, seperti kapal uap yang membawa mereka dari Eropa ke Indonesia atau di hotel-hotel besar. Itu juga disajikan di banyak rumah kolonial, sering pada hari Minggu atau di pesta-pesta makan malam.
Tradisi rijsttafel yang diperkenalkan penjajah itu terinspirasi dari tradisi makan bersama yang sering dilakukan oleh orang Indonesia. Gresik misalnya memiliki tradisi makan-makan bersama – selain bersama keluarga – dengan tetangga atau undangan. Biasanya, ini dikaitkan dengan momen-momen keagamaan, dalam hal ini Islam. Bisa jadi ini merupakan salah satu bentuk penentangan atau penyimbang dari yang dilakukan penjajah itu.
Di Desa Doudo (dalam bahasa setempat dilafalkan "Ndhudha"), kecamatan Panceng Kabupaten Gresik, istilah brokohan merujuk kegiatan makan pagi bersama di sawah. Disini makanan biasanya dibawa dari rumah dan yang menyiapkan biasanya isteri-isteri para petani yang dilakukan saat matahari di agak tinggi. Seteah brokohan itu, isteri pulanguntuk menyiapkan makanan lagi untuk siang harinya.
Di tempat lain, istilah brokohan adalah ritual yang dilakukan sehubungan dengan kelahiran bayi. Kegiatan ini berlangsung ketika bayi dan ibu sudah kembali ke rumah bila sang bayi lahir di luar rumah seperti rumah bersalain atau rumah sakit. Acara ini dimaksudkan dalam rangka penyambutan bayi dan diikuti oleh ibu-ibu tetangga dipimpin oleh tokoh setempat. Kegiatan yang berlangsung saat brokohan antara lain, membacakan doa untuk kesehatan dan keselamatan bayi.
Selain kegiatan brokohan keluarga meyiapkan makanan untuk dibawa pulang oleh tetangga yang hadir pada saat brokohan. Ruang yang digunakan untuk brokohan menggunakan ruang tamu dan teras menggunakan ruang tengah untuk menyiapkan makanan dan dapur untuk mempersiapkan konsumsi.
Salah satu tradisi di Gresik saat malam nisfu sya'ban (pertengahan bulan sya’ban) adalah acara Brahatan atau disebut juga lailatul baro’ah atau malam kebebasan dari api. Malam itu dipahami sebagai malam yang penuh pahala dan penghuni bumi diberikan ampunan Ilahiah yang istimewa kecuali yang musyrik dan yang bermusuhan.
Ritual nisfu Sya’ban sebenarnya dilaksanakan sebelum bulan Ramadlan. Akan tetapi pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan bulan Ramadlan. Pada malam itu orang diundang untuk makan setelah melakukan do’a dan kira-kira hari ke-14/15 dari bulan Sya’ban, atau ± 14/15 hari menjelang bulan Ramadlan. Pada malam itu orang tua, muda, kecil – di beberapa daerah laki dan perempuan sementara di daerah lainnya laki-laki saja – kumpul di masjid atau mushallah yang bahasa Gresik-nya dikenal dengan langgar.
Ritual dilaksanakan pada malam hari (14 ke 15 Sya’ban) setelah shalat Magrib. Kegiatan yang dilakukan berupa shalat Tashbih26 kemudian dilanjutkan dengan membaca Al-qur’an surah Yasin sebanyak 3 kali berturut-turut. Setiap selesai membaca surah Yasin dibacakan do’a tertentu; yang pertama, do’a agar dikuatkan iman. Yang yang kedua dibacakan do’a agar dipanjangkan umur, dan yang ketiga, do’a agar dimurahkan rezki.
Setelah itu biasanya disuguhkan jamuan makan atau yang disebut bupungan. Disini peserta makan makanan dalam nampan besar dan peserta mengitari nampan itu makan dengan jari tangan. Makanan itu dibawa oleh peserta dari rumah masing atau dari warga yang tidak sempat hadir dan disatukan atau dikumpulkan untuk dibagi-bagi sama rata oleh petugas yang biasanya mereka itu adalah ta’mir (pengurus) masjid.
Di beberapa kampung di Gresik, selain makan bersama tadi, peserta membawa makanan lainnya seperti kue atau pisang serta buah-buahan lainnya atau makanan itu sendiri pulang ke rumah dalam tempat yang terbuat dari daun pisang. Pada keesokan harinya (15 Sya’ban) beberapa warga melaksanakan puasa.
Di Manyar, Gresik, di sepanjang Jalan Kiai Sahlan Manyar menjelang sore hari, warga setempat banyak yang membawa jajanan arau makanan “Riyoyo Brahatan” untuk dibawa ke musholah atau langgar. Makanan yang dibawa biasanya nasi kuning kupat, lepet apem dan jajanan khas lainnya. Jajanan apem diartikan afwan (arab) atau permohonan maaf, sedangkan kupat dan lepet simbol permohonan maaf dan saling memaafkan.
Tradisi ini sebagai simbol ruwatan. Ritualnya, biasanya setelah shalat maghrib, warga mengaji surat Yasin tiga kali. Bagi warga setempat, tradisi majlis setengah bulan sebelum puasa Ramadhan ini sudah berlangsung secara turun temurun.