Rusaknya moral bangsa yang berakibat pada terjadinya krisis pada segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara, ditengarai sebagai akibat perubahan orientasi budaya dari budaya bahari ke budaya darat. Akibatnya adalah kita terserabut dari akar budaya kita yang sesungguhnya.
Praktek korupsi, kolusi, nepotisme, adalah kebiasaan yang sangat bertentangan dengan budaya bahari. Demikian halnya prilaku individualisme, ingin menang sendiri, merampas hak milik orang lain, monopoli, mudah menyerah, tidak kuat menghadapi tantangan, penakut, percaya kepada mitos, dan lain sebagainya juga adalah karakter yang tidak dikenal dalam budaya bahari. Oleh karena itu, kini saatnya kembali kepada budaya kita yang sesungguhnya, budaya nusantara, yaitu budaya bahari.
Budaya Bahari Membangun Karakter Bangsa |
Memahami Budaya Bahari
Dalam banyak referensi, seringkali kita kebingungan untuk melakukan pemilahan antara kata bahari dan kata maritim. Akibatnya, penggunaan kedua kata tersebut seringkali mengalami tumpang tindih. Kesan yang muncul adalah sama, padahal secara substansi berbeda. Susanto Zuhdi (2015; 1) mengatakan bahwa istilah bahari dan maritim sering dipertukarkan untuk konsep budaya dan negara. Meski keduanya bermakna tentang laut, terdapat makna yang berbeda.
Bahari punya tiga arti. Pertama: dahulu kala, kuno, tua sekali. Kedua: indah atau elok sekali. Ketiga: tentang laut. Jika ketiga kata itu dirangkai "dahulu kala yang elok sekali (di) laut", jadi sesuai ungkapan yang sarat makna.
Kata bahari (dari Arab) lebih dulu diserap ke dalam bahasa Indonesia dibandingkan maritim (mare = Latin). Dalam arti "dahulu kala", bahari berkaitan dengan sejarah yang menunjuk khususnya pada Sriwijaya dan Majapahit. Akhirnya, dengan bukti keulungan pelaut Austronesia, sesungguhnya telah berlangsung "adat bahari" sejak berabad lalu.
Dengan argumen itu, istilah bahari lebih cocok dikaitkan dengan budaya: budaya bahari. Makna lain maritim adalah wilayah pesisir, armada kapal dagang, pasukan bersenjata di laut, departemen dalam pemerintahan yang menangani urusan kelautan.
Dengan melihat unsur-unsur itu, cocoklah maritim dikaitkan dengan negara: negara maritim. Jika dalam ranah ini maritim dapat disebut hard power, bahari soft power. Jika keduanya digabungkan, lahirlah smart power.
Konsep budaya bahari akan mencakup sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan aktivitas atau tindakan serta segala sarana pendukung bagi masyarakat yang mendiami wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, untuk memahami fenomena budaya bahari lebih memadai memanfaatkan konsep tiga wujud kebudayaan (sistem gagasan, sistem sosial, budaya material) dari Koentjaraningrat.
Sebuah formulasi batasan budaya secara jelas mencakup ketiga wujud tersebut dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980: 193), sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Memadainya konsep tiga wujud kebudayaan untuk analisis fenomena sosial budaya juga pernah diungkapkan Ignas Kleden dalam acara seminar pada Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia di Hotel Indonesia, 1996.
Mengacu kepada konsep tiga wujud dan definisi budaya tersebut, untuk studi fenomena sosial budaya bahari yang kompleks, maka budaya bahari difahami sebagai sistem-sistem gagasan/ide, prilaku/tindakan dan sarana/ prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya (masyarakat bahari) dalam rangka pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut bagi kehidupannya.
Budaya bahari mengandung isi/unsur-unsurnya sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi dan seni berkaitan kelautan (Munsi Lampe, 2003 : 4-5).
Budaya bahari menyangkut sistem pengetahuan dapat dilihat dari kemampuan masyarakat bahari menentukan arah pelayaran melalui pergerakan bintang, menentukan posisi karang melalui warna laut, menentukan wilayah darat melalui letak horizon, musim bertelurnya ikan, hasil-hasil laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan lain sebagainya.
Aktivitas masyarakat bahari dapat dilihat dari keuletannya mengarungi dan menaklukan laut untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, serta aktivitas mereka di dalam perahu yang menjadi tempat tinggalnya selama di laut; sedangkan artefak dapat dilihat dari berbagai benda peninggalan maupun hasil produksi mereka yang semuanya berkaitan dengan aktivitas budidaya, penangkapan dan pelayaran, termasuk ritual dan konservasi. Interaksi mereka dengan laut, menjadikan mereka mereproduksi budayanya sendiri yang berbeda dengan budaya darat.
Terabaikan Sekian Lama
Ketika berbicara tentang bahari dalam konteks budaya dan maritim dalam konteks negara, memori kita selalu melakukan refleksi sejarah untuk merujuk pada masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Sebagai ingatan kolektif bangsa, kedua kerajaan itu, seperti dikatakan George McT Kahin, jadi unsur pembentuk nasionalisme. M Yamin menginterpretasi Sriwijaya dan Majapahit sebagai "republik pertama" dan "republik kedua".
Adapun Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945 adalah "republik ketiga". Namun, tentu Indonesia bukan kelanjutan dari kedua kerajaan itu. Indonesia merupakan konsep baru yang diciptakan. Sebagai salah satu emporium di Asia, Sriwijaya mampu mengendalikan lautan luas dengan dukungan komoditas yang mengisi pasar-pasar bagian barat Asia, India, dan Tiongkok. Hanya oleh kehadiran pedagang Tiongkok pada abad ke-12, Sriwijaya tertandingi.
Karena minimnya komoditas hasil pedalaman Sumatera, perseteruan antarpenguasa federasi, dan ketidakmampuan mengendalikan armada suku-suku laut, Sriwijaya yang jaya lebih kurang enam abad itu pun akhirnya merosot dan lenyap. Sementara Majapahit dengan dukungan komoditas pedalaman yang melimpah menjadikannya sebagai kerajaan semikomersial.
Digerakkan sejumlah pelabuhan pantai utara Jawa, Majapahit berhasil menguasai perdagangan regional Nusantara. Namun, konflik antarkekuatan politik internal yang tajam memuncak pada peristiwa huru-hara (Perang Paregreg), menyebabkan Majapahit merosot dan tidak mampu lagi mengendalikan jalur-jalur perdagangan regional. Faktor lain adalah ketidakmampuan menjawab perubahan, khususnya di kawasan Laut Jawa, ketika pedagang-pedagang Islam mengambil alih peran Majapahit (Zuhdi; 2015, 1).
Perang Paregreg adalah perang saudara antara “Wikramawardhana”, anak Hayam Wuruk dari permaisuri, melawan “Wirabhumi” anak dari selir. Pecahnya perang saudara di dalam Kerajaan Majapahit ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa kerajaan kecil yang tadinya berada di bawah kekuasaan Majapahit. Mereka kemudian satu per satu melepaskan diri dari kendali pusat Kerajaan Majapahit (Djoko Pramono, 2005; 51).
Awal mula menghilangnya budaya bahari dalam kehidupan nusantara tidak dapat dipisahkan dari masuknya kolonialisme. Kedatangan bangsa Belanda ke nusantara melakukan penjajahan, nampaknya begitu memahami sejarah kejayaan nusantara masa lampau ketika kerajaan Sriwijaya dan Majapahit berjaya. Kemampuan Sriwijaya dan Majapahit dalam mengeksplorasi dan menguasai jalur-jalur perdagangan menjadi penentu sukses dan berkembangnya dua kerajaan nusantara tersebut.
Tentu, Belanda tidak ingin kejayaan masa lampau terulang kembali, maka langkah awal yang dilakukan oleh Belanda adalah melakukan pengalihan orientasi budaya dari lautan atau bahari ke daratan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa aspek.
Pertama, setelah mengalami kejayaan budaya bahari, Indonesia terus mengalami kemunduran terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Jogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya dari budaya bahari ke budaya daratan (Rosihan A, 2010; 2).
Kedua, Perubahan Mindset.
Sebagai penjajah, Belanda betul-betul menunjukkan dominasinya atas Indonesia sebagai terjajah. Dominasi tersebut sampai meninggalkan trauma yang luar biasa, hingga saat ini Indonesia terkadang belum bisa melepaskan diri dari watak ketergantungan (inlander). Selama ratusan tahun Indonesia bergantung kepada Belanda pada semua aspek. Semua serba diatur, bahkan pola hidup masyarakatnya-pun diatur.
Perubahan mindset yang dilakukan oleh penjajah kepada Indonesia untuk melupakan budaya bahari yang menjadi basic culturalnya dapat dilihat dari lahirnya sejumlah cerita-cerita mitos yang menjauhkan masyarakat dengan laut. Masyarakat Indonesia dilarang makan ikan supaya tidak cacingan, jadilah masyarakat tidak suka dengan ikan; masyarakat dilarang pergi dilaut karena angker, banyak makhluk halus yang ganas, ombaknya kencang, peduh dengan topan dan badai, akhirnya masyarakat takut dengan laut.
Jikapun mereka ingin mengenal laut atau melihat laut, cukup mereka naik ke gunung dan menyaksikan laut dari kejauhan; anak-anak diceritakan tentang laut yang asin, panas, membuat kulit menjadi hitam, dan menjadikan kulit kudisan, sehingga anak-anak menjadi takut untuk datang ke laut. Semua cerita tersebut adalah sengaja dimunculkan oleh kaum penjajah, agar nenek moyang kita, para pendahulu kita menjauhi laut.
Lambat laun cara pandang kita tentang laut berubah, laut adalah wilayah yang angker, ganas, menakutkan, tidak ada penghidupan, sehingga kitapun menjauhi laut. Ikan yang sejatinya adalah makanan yang sangat kaya akan protein dan mencerdaskan, pelan-pelan kita tinggalkan, kita tidak suka karena amis. Semua proses ini secara tidak sadar telah merubah orientasi kita dari budaya laut ke budaya darat, dari profesi nelayan ke profesi petani, dari kultur maritim ke kultur kontinen.
Ketiga, Pembangunan Jalan Lintas Darat
Jalan ini dibangun untuk menghubungkan pulau Jawa, yaitu dari Anyer (sekarang Provinsi Banten) dan Panarukan (Jawa Timur). Dinamakan jalan Daendels karena dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1809-1810, berjarak sejauh 1000 km.
Ada beberapa versi mengenai sejarah pembuatan jalan ini, ada yang menyebutkan Daendels membuat jalan Anyer-Panarukan karena ingin mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris sehingga Pulau Jawa perlu dibangun jalan guna menghubungkan suatu daerah ke daerah lain agar mempercepat kabar berita dan alur transportasi.
Sementara itu ada yang beranggapan bahwa jalan Daendels dibangun untuk Jalan Pos Raya (Grote Postweq), namun Halwany beranggapan bahwa jalan Daendels sebagai siasat untuk memperlancar jalur ekonomi, politik, dan pemerintahan.
Menurut beberapa sejarahwan Indonesia, yang meninggal pada masa pembuatan jalan tersebut adalah sekitar 15.000 orang dan banyak yang meninggal tanpa dikuburkan secara layak. Belum termasuk yang menderita karena terserang penyakit malaria, kelaparan, serta berbagai penderitaan lainnya.
Keempat, Sistem Tanam Paksa
Dikenal dengan istilah Cultuur stelsel, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap desa menyisihkan 20 % tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku dipasar ekspor, khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil tanaman ini nantinya harus dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.
Sedangkan penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja selama 75 hari setiap tahun pada perkebunan milik pemerintah belanda, hal tersebut menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat. Namun pada kenyataannya peraturan Sistem Tanam Paksa tidak sesuai karena pada prakteknya seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Tanah yang digunakan untuk tanam paksa masih dikenakan pajak padahal seharusnya bebas pajak. Sedang warga yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian Belanda. Sejarah yang melatari tanam paksa adalah pada tahun 1830 pemerintah Belanda hampir mengalami kebangkrutan setelah terlibat perang Diponegoro (1823-1830). Kemudian Gubernur Jenderal Judo mendapatkan izin untuk menjalankan cultuur stelsel (sistem tanam paksa) dengan tujuan utama untuk menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan dan mengisi kas pemerintah jajahan yang saat itu sedang kosong.
Demi menyelamatkan negeri Belanda dari kebangkrutan, kemudian Johannes van den Bosch diangkat menjadi gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong. Pelaksanaan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderan van den Bosch memfokuskan kebijakannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Kelima, Role Model yang tidak Humanis
Selama masa penjajahan, masyarakat Indonesia dipertontonkan dengan prilaku kaum penjajah yang tidak manusiawi. Memaksa, mengintimidasi, menganiaya, merampas, menyiksa, memperkosa, bahkan membunuh secara sadis.
Bangsa Indonesia betul-betul direndahkan derajatnya dengan segala bentuk perlakuan yang tidak dikenal bahkan tidak ada dalam budayanya sendiri. Budaya gotong royong yang pernah mereka pedomani diganti dengan kerja paksa, budaya saling membantu diganti dengan budaya intimidasi, kedermawanan diganti dengan keserakahan, keadilan diganti dengan kezaliman, musyawarah diganti dengan jalan paksa, dan segala bentuk kebiadaban lainnya.
Hal ini terjadi bukan hanya puluhan tahun, tetapi bahkan ratusan tahun lamanya. Diantara nenek moyang kita, ada yang lahir karena penindasan, dan meninggal karena penindasan pula, ada yang sejak kecil hidup tersiksa, sampai tua tetap tersiksa. Itulah gambaran perlakuan penjajah Belanda atas orang tua kita, atas bangsa Indonesia.
Membangun Karakter Bangsa
Secara umum, karakter dikaitkan dengan sifat khas atau istimewa, atau kekuatan moral, atau pola tingkah laku seseorang. Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak memuat kata karakter, yang ada adalah kata “watak” dalam arti sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya atau tabiat seseorang.
Kata “karakter” tercantum dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang diartikan sebagai watak, sifat, tabiat. Karakter baik dimanifestasikan dalam kebiasaan baik di kehidupan sehari-hari: pikiran baik, hati baik, dan tingkah laku baik. Berkarakter baik berarti mengetahui yang baik, menyukai atau senang kebaikan, dan melakukan yang baik.
Karakter bersifat memancar dari dalam keluar (inside-out). Artinya, kebiasaan baik tersebut dilakukan bukan atas permintaan atau tekanan dari orang lain melainkan atas kesadaran dan kemauan sendiri. Dengan kata lain, karakter adalah “apa yang anda lakukan ketika tak seorangpun melihat atau memperhatikan anda (Gede Raka dkk, 2011; 36-37).
Karakter bangsa Indonesia sejatinya dapat dilihat dari rumusan dasar negara yang terakumulasi dalam Pancasila. Bahwa bangsa Indonesia meyakini adanya Tuhan, sehingga setiap aktivitas masyarakatnya akan senantiasa berbijak pada ajaran agama yang diyakini. Apakah Islam, Hindu, Budha, atau Kristen, masyarakat Indonesia meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu salah satu karakter dari masyarakat Indonesia adalah taat beribadah menurut ajaran agamanya masing-masing. Bangsa Indonesia juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, semua etnis yang mendiami nusantara ini di pandang setara dan bersaudara, sehingga ada keharusan untuk saling menghormati. Tidak ada kelompok manusia yang lebih mulia atas kelompok yang lainnya, tidak ada etnis yang lebih superior dan lebih bermartabat atas etnis lainnya.
Nilai-nilai ini digali karena adanya trauma yang mendalam atas penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama ratusan tahun lamanya. Penjajahan adalah tindakan yang tidak manusiawi, sehingga harus dihilangkan dalam kehidupan berbangsa dan berbegara. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atau perlakuan istimewa atas etnis tertentu, semua harus diberlakukan secara adil dan berabad.
Selain itu bangsa Indonesia juga sangat menekankan pentingnya persatuan, sehingga seluruh warga negara wajib mengedepankan kepentingan nasional, diatas kepentingan pribadi atau golongan. Hal ini telah diperlihatkan oleh para pendahulu kita, mereka ikhlas melepaskan ego masing-masing dengan menanggalkan identitas lokal yang mereka miliki demi terwujudnya Indonesia. Dari nilai-nilai ini, akan memunculkan karakter masyarakat Indonesia yang selalu saling membantu dan suka bergotong-royong.
Bangsa Indonesia sangat menekankan pentingnya musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Tidak ada pemaksaan kehendak, yang ada adalah bermusyawarah untuk bermufakat. Dengan penekanan ini, maka akan terbentuk karakter masyarakat Indonesia yang toleran, moderat, dan saling menghargai.
Terakhir adalah bangsa Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh warganya. Artinya, Indonesia akan dilihat sebagai satu kesatuan wilayah, laut adalah pemersatu bukan pemisah. Dengan komitmen ini, diharapkan bahwa masyarakat Indonesia senantiasa menerapkan nilai-nilai keadilan kapan dan dimanapun mereka berada.
Ada lima karakter utama bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila, yaitu; taat beribadah sebagai manifestasi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; saling menghargai, tenggang rasa, sebagai aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang mereka yakini; suka menolong, gotong royong, dan kerja keras, yang merupakan aplikasi dari sikap cinta tanah air dan bangsa; moderat, tidak memaksakan kehendak, dan bijaksana, serta senantiasa bersikap jujur dan berprilaku adil.
Setelah terjadinya reformasi pada tahun 98, karakter kebangsaan kita seolah mengalami degradasi. Kadar kepercayaan masyarakat terhadap adanya Tuhan mulai terkikis, hal ini dapat dilihat dengan terjadinya kerusuhan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) diberbagai daerah. Di Ambon, Maluku Utara, Poso, Sambas, dan beberapa daerah lainnya, masyarakat berani saling serang dan saling bunuh demi membela agamanya. Tuhan yang semestinya menjadi pemersatu, justru dijadikan sebagai sumber konflik. Tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat bukan lagi menjadi penyejuk tetapi malah menjadi pemangsa bagi yang lainnya.
Di sekolah, di jalan, di pasar, dan di jalan-jalan raya terjadi tawuran antar pelajar, pengguna narkoba dan pelaku aborsi semakin meningkat. Beberapa daerah juga “berteriak” ingin merdeka, yang menunjukkan bahwa kadar nasionalisme warga semakin berkurang. Musyawarah mulai diabaikan, yang ada adalah pemaksaan kehendak. Keadilan tidak lagi menjadi pemersatu, tapi justru menjadi alasan bagi beberapa daerah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Situasi tersebut adalah gambaran bahwa karakter bangsa sedang mengalami kemerosotan. Masyarakat tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai Pancasila yang semestinya menjadi tuntunan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara justru telah diabaikan. Sentimen etnis, kelompok, dan semangat kedaerahan semakin tinggi, individualisme semakin menguat, gotong royong sudah hilang, etos kerja mulai berkurang, dan kejujuran serta keadilan semakin jauh dalam kehidupan.
Oleh karena itu, penting untuk kita bangun kembali karakter bangsa dengan berbasis pada budaya bahari, budaya yang pernah diwariskan oleh nenek moyang bangsa ini sejak masa lampau, budaya yang pernah menjadikan Sriwijaya dan Majapahit berjaya di nusantara.
Pentingnya Budaya Bahari
Jika kita padukan definisi yang dikemukakan oleh Munsi Lampe yang melihat budaya bahari sebagai sistem-sistem gagasan/ide, prilaku/tindakan dan sarana/ prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya (masyarakat bahari) dalam rangka pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut bagi kehidupannya, dengan tiga wujud kebudayaan sebagaimana konsepnya Koentjaraningrat, maka wujud kebudayaan bahari dapat kita lihat pada tiga aspek.
- Pertama, sistem gagasan/ide/pengetahuan kebaharian (seperti; perubahan arah angin, musim ikan, wilayah karang dan laut dalam, dll).
- Kedua, prilaku/tindakan kebaharian (berupa aktivitas penangkapan, budidaya, dan pelayaran serta tradisi dan konservasi).
- Ketiga, sarana dan prasarana kebaharian (seperti; perahu, layar, pukat, tombak, sero, bubuk, dll).
Pada sudut pandang sosiobudaya, banyak hal yang menarik untuk dikaji termasuk diantaranya adalah sistem budaya kebaharian. Komunitas nelayan mempunyai sistem budaya yang unik dan berbeda dengan komunitas masyarakat agraris.
Sistem pengetahuan yang dimiliki merupakan adaptasi dari lingkungan mereka yang berada pada wilayah pesisir dan laut. Wilayah pesisir tempat mereka hidup dan laut tempat menggantungkan hidupnya diperlukan sistem budaya yang mumpuni yang tercermin di dalam sistem pengetahuan nelayan baik dalam kehidupannya sehari-hari maupun pada saat menangkap ikan.
Pengetahuan-pengetahuan ini muncul akibat dari gagasan bahwa kondisi laut yang berbahaya dan kodisi sumber daya laut yang tidak mudah dikelola menyebabkan pekerjaan menangkap ikan di laut penuh resiko bahaya mengenai keselamatan jiwa manusia, dan ketidakmenentuan dalam pendapatan nelayan (Acheson, 1988 dalam Fadly Husain, 2011: 42).
Salah satu identitas suku bangsa bahari adalah egaliterialisme, yakni penerapan prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan. Prinsip ini, bukan berarti menafikan posisi laki-laki sebagai kepala keluarga atau sebaliknya perempuan sebagai ibu rumah tangga. Implementasi prinsip-prinsip kesetaraan berlaku pada hal-hal yang tidak bersifat kodrati. Artinya, laki-laki yang menjadi suami adalah pemimpin dalam keluarga, sedangkan perempuan yang menjadi istri adalah ibu rumah tangga.
Tetapi dalam urusan yang tidak bersifat kodrati, aspek kesetaraan selalu diperhatikan. Dalam perahu misalnya, meskipun ada nakhoda, komprador, ABK, koki (juru masak), tetapi dalam perahu selalu mengedepankan gotong royong. Contoh lain adalah, meskipun suami adalah pencari nafkah, tetapi pada waktu-waktu tertentu istri juga berperan sebagai pencari nafkah. Terutama ketika suami sedang melakukan pelayaran, maka yang akan bekerja mencari nafkah adalah istri sambil menunggu suami kembali dari pelayaran.
Menurut Ratna Indrawasih (2015: 251), dalam keadaan ekonomi keluarga yang tidak menentu, nelayan perlu memanfaatkan anggota keluarganya untuk bekerja sebagai upaya meningkatkan pendapatan keluarga. Diantara anggota keluarga nelayan yang produktif untuk menambah pendapatan adalah para istri nelayan.
Pada umumnya budaya terbentuk dan berkembang secara unik pada setiap komunitas masyarakat, sebagai proses adaptasi dengan keadaan lingkungan baik lingkunagan alam, lingkungan manusia, maupun lingkungan moral spiritual. Kondisi demikian antara lain menyebabkan terbentuknya keanekaragaman budaya.
Terbentuknya karakteristik budaya terkait dengan adanya kecenderungan bahwa setiap komunitas atau kelompok sosial dalam masyarakat pasti memiliki nilai-nilai budaya yang spesifik atau khas yang membedakan jati diri mereka dengan yang lain. Kesatuan budaya ini bukan ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh warga pendukung kebudayaan itu sendiri.
Warga masing-masing sadar dengan sendirinya terhadap identitas dan keseragaman budayanya yang berbeda dari warga budaya lain. Masing-masing komunitas sosial pada dasarnya memiliki karakteristik budaya yang membedakannya dengan yang lain (Sri Indrahti dan Yety Rochwulaningsih, 2011: 43).
Dikatakan oleh Radhar Dahana (2011), bahwa manusia-manusia yang hidup berkembang dalam dimensi spasial perairan secara alami akan menjadi kelompok masyarakat hibrid, yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebagai produk budaya maritim tentunya akan memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan produk budaya yang lahir di atas konteks alam yang lain.
Lebih lanjut Dahana mengatakan bahwa secara adab, budaya maritim lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan karena interaksinya yang lentur dan intens antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini tidak seperti budaya daratan yang dipenuhi konflik dan peperangan berkat kondisi geografis dan geologis yang memaksa mereka untuk melawan atau menguasai manusia, binatang, atau lingkungan di sekitar mereka.
Sebagaimana yang kita dapat ikuti di Timur Tengah baik pada masa silam atau saat ini yang terus saja dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa kekerasan dan peperangan. Secara ekonomi, budaya maritim sangat mengedepankan asas kekeluargaan dalam aktivitas perekonomian mereka. Budaya maritime tidak mengenal monopoli apakah lagi intimidasi, karena masyarakat bahari memahami bahwa laut adalah anugerah Tuhan untuk kesejahteraan bersama.
Sebagaimana cerita Charles Beraf (2014) tentang masyarakat nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Tradisi tena laja (penangkapan ikan-ikan besar) masih terus dihidupi oleh masyarakat hingga saat ini. Tradisi ini tidak dilangsungkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka, namun juga menjadi aktivitas kultural masyarakat.
Melalui tradisi ini mereka dapat menjaga kohesivitas antar anggota kelompok. Hasil tangkapan yang didapat dari aktivitas ini tidak dinikmati oleh penangkap saja, namun dibagikan kepada siapapun di Lamalera terutama para janda dan anak yatim. Ini sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan.
Uraian tersebut menegaskan bahwa budaya bahari mempunyai nilai-nilai karakter yang khas yang membedakannya dengan budaya darat. Karakter ini terbentuk tidak secara instan, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang dan tidak mudah, karena kondisi alam yang dihadapi penuh dengan tantangan dan bahkan ancaman.
Laut penuh dengan gelora, topan-badai, ombak dan arus, kegelapan, keangkeran, kepanasan, sehingga tidak mudah diarungi dan ditaklukan. Ketelatenan dalam menghadapi situasi laut menjadikan orang-orang bahari mempunyai budaya yang khas, budaya yang spesifik dan pada situasi tertentu dapat dianggap mempunyai keunggulan dibandingkan dengan budaya darat.
Pertama, tangguh dan pantang menyerah
Budaya ini terbangun melalui proses interaksi dengan lingkungan alam (laut) yang tidak mudah ditaklukan. Angin, topan, dan badai, serta gelombang dan arus adalah ‘hiasan’ laut dan senantiasa menjadi tantangan pelaut. Kebiasaan para pelaut menghadapi situasi ini, menjadikan karakter mereka terbangun sebagai pribadi yang tangguh dan pantang menyerah.
Kedua, berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif, dan komunikatif
Masyarakat bahari mengharuskan mereka melakukan pelayaran maritim ke berbagai pulau dan daerah guna memasarkan sekaligus membeli berbagai komoditas, dan selanjutnya dijual kembali pada daerah lain.
Situasi ini memungkinkan terjadinya kontak dan komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya, bahasa, adat-istiadat, serta keyakinan yang beragam. Karena itu, pemikiran mereka menjadi terbuka, nilai budaya yang baik diadopsi, yang berbeda dilakukan penyesuaian (adaptasi), toleran dengan keragaman budaya, serta pola komunikasi diperbaiki untuk kepentingan pemasaran komoditas perdagangan.
Ketiga, mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong
Dalam dunia bahari, tantangan yang dihadapi lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan tantangan di darat. Karena itu, pola kerja yang dikedepankan adalah sistem kekeluargaan dan gotong royong.
Pola kerja adalah tim, keselamatan pelayaran adalah yang utama. Di dalam perahu, dimana para pelayar hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dibutuhkan kesabaran, serta saling asih dan asuh. Meskipun perahu dianggap sebagai rumah selama masa pelayaran, namun suasana dalam perahu tidak sama dengan suasana dalam rumah di darat, sehingga dibutuhkan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Tidak ada yang mengurus diri sendiri, kalaupun ada pekerjaan yang dikerjakan sendiri tetapi tujuannya adalah untuk kepentingan bersama (misalnya; memasak).
Keempat, memiliki kepedulian dan mengedepankan kompetensi
Kepemimpinan dalam budaya bahari sangat selektif, yang diberi ruang adalah mereka-mereka yang telah memiliki “segudang” pengalaman dengan kompetensi yang tidak diragukan. Disamping kompetensi, kepedulian pada sesama juga sangat ditekankan.
Mengarungi laut adalah pertaruhan hidup dan mati, perjalanan menempuh badai dan gelombang, pelayaran yang tidak menentu, sehingga dibutuhkan pemimpin yang berpengalaman, berpengetahuan, serta bertanggungjawab atas keselamatan pelayaran, keselamatan perahu, dan keselamatan semua personil perahu.
Syarat kompetensi dan peduli untuk kepemimpinan dalam budaya bahari adalah hal yang niscaya. Kepemimpinan dalam budaya bahari, tidak mengambil kebijakan dan keputusan lalu duduk dibalik meja. Kepemimpinan dalam budaya bahari adalah kepemimpinan partisipatif, dimana pemimpin mengambil keputusan dan kebijakan dan ikut serta dalam implementasi.
Kelima, hubungan yang setara
Dalam dunia bahari, pola hubungan adalah setara, bukan subordinasi. Masyarakat bahari tidak mengenal tuan tanah dan penggarap tanah, atau pemilik sawah/ladang dan penggarap sawah/ladang sebagaimana pada budaya darat. Pola kerja dalam budaya bahari adalah kerja sama dan saling menguntungkan (symbiosis mutualisme).
Dengan demikian, membangun karakter bangsa sejatinya digali dan dikembangkan berbasis budaya bahari. Sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong, tangguh dan pantang menyerah, toleran, adoptif, adaptif, dan komunikatif, pola hubungan yang setara, peduli, serta kepemimpinan yang berbasis pada kompetensi dapat dipedomani dan dipraktekkan dalam kehidupan. Membangun karakter bangsa yang bersumber dari budaya bahari berarti kita kembali pada budaya kita yang sesungguhnya, budaya nusantara adalah budaya bahari.