Ada kisah haru antara Bung Karno dan Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Keduanya sempat sangat akrab, kemudian berselisih akibat perbedaan ideologi, namun berakhir dengan damai.
Berakhir dengan berdirinya Hamka di samping jenazah sang singa podium memimpin shalat untuk menghantar Sukarno ke hadirat Ilahi.
Buya Hamka |
Kritik Tajam pada Sukarno
Pertemuan pertama kali Sukarno dan Hamka dimulai sejak Sukarno diasingkan oleh Belanda di Bengkulu pada 1941. Hamka yang aktif dalam organisasi Muhammadiyah memiliki kesamaan cita-cita dengan Sukarno, untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, ia aktif berkecimpung di dunia politik melalui partai Masyumi. Pada 1955, Sukarno mengangkat Buya Hamka menjadi anggota Konstituante.
Namun di tahun 1959, Sukarno membuat kebijakan kontroversial, yakni mengubah sistem pemerintahan di Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Putusan tersebut lalu ditentang keras oleh sebagian kalangan termasuk sahabat Sukarno dalam Dwitunggal, Mohammad Hatta.
Demokrasi terpimpin dianggap tidak sesuai dengan demokrasi yang sebenarnya, serta cenderung berefek pada pemerintahan yang otoriter. Sistem pemerintahan ini dinilai sebagai autokrasi atau kediktatoran yang terselubung dibalik nama “demokrasi”.
Buya Hamka beserta Masyumi pun turut aktif mengecam kebijakan Sukarno itu. Terlebih saat Sukarno mengusung konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Buya Hamka yang berprinsip Islamis tidak setuju jika komunis dibiarkan berkembang di Indonesia.
“Trias Politica sudah kabur di Indonesia.. Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme.. Front Nasional adalah partai Negara..!!!” begitu teriakan Hamka lantang di Gedung Konstituante.
Akibat kritik tajam yang kerap dilancarkan Hamka, Bung Karno pun naik pitam dan hilang kontrol. Ia lalu menjebloskan Hamka ke dalam penjara pada tahun 1964.
Menulis Tafsir Al-Azhar dalam Penjara
Hamka menuruti saja hukuman penjara yang dijatuhkan padanya. Tanpa perlawanan ataupun upaya hukum agar bebas dari bui.
Di dalam sel tahanan yang kelam, Hamka justru menemukan apa selama ini diabaikannya. Ia melalui hari-harinya untuk khusyuk mendalami Al-Quran. Menuliskan ayat demi ayat maknanya, hingga akhirnya rampung menyelesaikan sebuah mahakaryanya yang tersohor, “Tafsir Al-Azhar”.
Selama proses menulis kitab tafsirnya itu, selama itu juga Hamka merasa bersyukur bahkan ingin berterimakasih pada Sukarno karena justru setelah dimasukkan dalam penjara, ia merasa semakin dekat dengan Tuhan.
Amanah Terakhir Sukarno
Pada tahun 1966 kepemimpinan Sukarno meredup. Orde baru dimulai dengan Soeharto yang menggantikan posisi kepresidenan Sukarno. Di tahun yang sama, setelah 2 tahun 4 bulan mendekam di balik jeruji tahanan, Hamka akhirnya menghirup udara bebas.
Sementara itu, Sukarno mulai sakit-sakitan dan hanya orang tertentu yang dibolehkan menemuinya di Wisma Yaso. Hamka sendiri melanjutkan aktivitasnya selaku ulama dan sastrawan.
Pada tanggal 16 Juni 1970, kabar mengejutkan dibawa oleh asisten pribadi Soeharto, Mayjen Suryo kepada Buya Hamka, kabar duka bahwa sang mantan presiden RI pertama telah wafat. Melalui secarik kertas, Suryo menyampaikan amanah terakhir Bung Karno.
“Bila aku mati kelak. Minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam sholat jenazahku.”
Membaca surat itu, tanpa pikir panjang Hamka langsung bergegas ke Wisma Yosa menunaikan permintaan Sukarno yang terakhir kalinya, meski beberapa orang sempat mencegahnya.
Setiba di Wisma Yosa, Hamka hikmat menjadi imam shalat jenazah Sukarno. Rasa haru menyeruak dalam benak Hamka melepas kepergian seseorang yang pernah bersamanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sekaligus pernah menjebloskannya ke dalam penjara itu.
Akhir episode hubungan mereka ditutup dengan haru dan kemaafan, layaknya ending cerita dalam roman-roman karangan Hamka.