Menurut cerita masyarakat Bali, dahulu daratan pulau Bali dan pulau Jawa menyatu. Namun suatu peristiwa yang menyedihkan membuat keduanya terpisah dan menjadi 2 pulau yang berbeda. Pemisah di antara keduanya adalah peraiaran yang kini kita kenal dengan nama “Selat Bali”.
Kisah Manik Angkeran / sejarahbali.com |
Dikisahkan pada zaman dahulu, di kerajaan Daha hidup seorang pria dari kalangan Brahmana, bernama Sidhi Mantra. Ia disegani oleh masyarakat sekitar karena dianugrahi kemampuan supra natural dan benda-benda sakti oleh Sang Hyang Widhi. Ia memiliki seorang putra bernama Manik Angkeran. Manik Angkeran adalah putra yang sudah lama ia nantikan, hingga saat Manik Angkeran beranjak dewasa, Sidi Mantra sudah berusia lanjut.
Namun sayang, sifat sang Ayah yang bijaksana tidak turun ke anaknya. Manik Angkeran memang dianugrahi wajah tampan namun memiliki sifat yang buruk. Ia sangat malas, tidak mau bekerja namun begitu berambisi berharta banyak.
Suatu saat ketika berjalan di pasar, ia melihat sekumpulan orang sedang menonton perjudian adu ayam. Dilihatnya si empu ayam yang menang memperoleh uang yang sangat banyak. “Wah kalau begini, cuma modal ayam saja saya bisa cepat kaya!” Sejurus ide muncul dalam pikiran Manik Angkeran.
Ia bergegas pulang, mengambil semua uang yang ia simpan lalu membeli ayam yang paling bagus dan jago beradu. Dan benar saja, perjudian demi perjudian ia menangkan. Dalam waktu beberapa hari saja uang dan hartanya semakin berlimpah.
Tapi hari-hari berikutnya, ayam jago milik Manik Angkeran semakin sering kalah. Stamina sang jago semakin menurun dan tak berhasil memberi kemenangan bagi empunya. Harta yang selama ini didapatkannya ludes seketika, bahkan ia harus berhutang banyak untuk tetap berjudi.
Setelah hutangnya menumpuk, ia malah mencuri harta milik ayahnya, Sidhi Mantra untuk membayar hutang. Mengetahui putranya mencuri hartanya, Sidhi Mantra sangat kecewa. Lalu menasehati anaknya “Anakku, berhentilah berjudi.. Berjudi tidak akan membuatmu kaya, malah akan membuatmu merugi..”
Manik Angkeran hanya menganggap nasehat itu seperti angin lalu. Ia tetap berjudi dengan mencuri harta ayahnya. Tapi tetap saja ia kalah hingga harta ayahnya pun habis. Kekalahan demi kekalahan tetap tak membuatnya jera, ia berjudi dan berjudi terus dengan berhutang.
Maka saat hutangnya sudah menggunung dan sudah didesak untuk segera membayar, ia lalu mengadu pada ayahnya “Ayah, hutangku sekarang sangat banyak, aku akan dibunuh kalau tidak segera membayarnya..”
“Bagaimana aku membantumu? Hartaku pun sudah habis kau pakai berjudi..” Jawab Sidhi Mantra. Ia juga khawatir jika anaknya benar-benar dibunuh karena tak mampu membayar hutang. Kemudian ia berdoa pada Sang Hyang Widhi agar diberi petunjuk. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara gaib “Datanglah ke Gunung Agung menemui Naga Besukih. Mintalah bantuannya untuk membayar hutang anakmu.”
Sang ayah yang berhati lembut itu pun segera ke gunung Agung dengan membawa genta, lonceng sakti untuk memanggil Naga. Setiba di tepi kawah gunung Agung, ia membunyikan genta yang dibawanya, lalu keluarlah sesosok naga, Naga Besukih. Ia lalu menceritakan perihal putranya dan memohon bantuan sang Naga. Naga Besukih lalu mengeluarkan intan dan emas dari sisiknya. “Bawalah emas dan intan itu untuk membayar hutang putramu.” Kata sang Naga. Sidhi Mantra lalu berterima kasih dan membawa pemberian Naga.
Sidhi Mantra menyerahkan seluruh emas dan intan itu pada Manik Angkeran. “Ambillah dan lunasi hutangmu. Mulailah jalan hidup yang baik sesudah ini” pesan sang ayah.
Manik Angkeran senang bukan kepayang, ia segera melunasi seluruh hutangnya, dan sisa emas intan ia gunakan kembali untuk berjudi. Ia sama sekali tidak menganggap pesan ayahnya berarti.
Setelah emas dan intan itu pun habis, lagi-lagi Manik Angkeran berhutang. Setelah terdesak kembali lagi ia meminta tolong pada ayahnya “Ayah, sisa harta yang ayah beri sudah aku habiskan. Sekarang aku kembali berhutang bahkan dengan jumlah yang lebih besar. Tolonglah, kalau tidak aku akan dibunuh..”
Sidhi Mantra sangat gusar dan kecewa. “Kau sudah membuatku sangat kecewa. Kau sudah melukai hati ayahmu sendiri. Aku tidak bisa membantumu lagi.” Kata Sidhi Mantra meninggalkan putranya.
Manik Angkeran lalu termenung mencari akal. Tiba-tiba matanya tertuju pada genta yang tergeletak di tempat ayahnya tadi. Ia lalu membawa genta itu, dan di tengah jalan seseorang yang melihat genta itu memberitahu bahwa itu adalah genta sakti yang dipakai untuk memanggil Naga Besukih di Gunung Agung. Mengetahui hal itu Manik Angkeran segera ke gunung Agung mencoba kesaktian genta. Ia yakin bahwa emas dan intan yang ayahnya peroleh adalah dari pemberian sang Naga.
Setibanya di gunung Agung, ia membunyikan genta itu, dan seperti yang diduga, Naga Besukih kemudian keluar dari dalam gunung. “Ada apa kau memanggilku?” Tanya sang naga pada Manik Angkeran.
“Aku Manik Angkeran, putra Sidhi Mantra. Aku mau minta tolong, hutangku sangat banyak, bolehkan Naga memberikan sesuatu agar aku bisa membayar hutangku?” Jelas Manik Angkeran.
Sang Naga berpikir sejenak lalu berkata “Hutangmu banyak sekali, tapi baiklah akan kubantu. Setelah ini kau tidak boleh berjudi lagi dan tidak boleh kesini lagi meminta bantuan,”
Lalu keluarlah emas dan intan dari sisik sang Naga. Tergiur melihat itu, Manik Angkeran yakin bahwa dibalik sisik itu tersimpan emas dan intan yang melimpah ruah. Timbul maksud jahat dalam pikirannya. Ia lalu mengambil sebilah pisau yang memang selalu ia bawa dan bergerak cepat memotong ujung ekor sang Naga.
Naga Besukih kesakitan dan marah bukan main. Disemburkannya api dari mulutnya. Menyaksikan itu Manik Angkeran ketakutan dan melarikan diri. Namun Naga Besukih terlalu kuat untuk seorang Manik Angkeran. Sang Naga berhasil mengejarnya dan disemburnya Manik Angkeran dengan api hingga menjadi abu.
Sementara Sidhi Mantra sadar ia kehilangan gentanya. Ia yakin bahwa genta itu sudah dicuri oleh putranya dan membawa genta itu ke gunung Agung untuk meminta bantuan Naga Besukih. Ia segera ke gunung Agung untuk memastikan tapi yang didapatinya disana adalah putranya yang sudah menjadi abu. Sidhi Mantra teramat sedih melihat keadaan putranya. Ia lalu meminta dengan sangat pada sang Naga agar putranya dikembalikan ke bentuk semula dan diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri.
Naga Besukih akhirnya meluluskan permintaan Sidhi Mantra dengan syarat ia harus berpisah dari putranya. Manik Angkeran harus tinggal bersama Naga Besukih untuk dididik, dijadikan murid oleh sang Naga. Sidhi Mantra, setuju, asal anaknya bisa kembali dan menjadi orang yang baik apapun ia lakukan.
Dengan kesaktian sang Naga, Manik Angkeran dengan cepat berubah wujud dari abu kembali ke bentuknya yang semula. Ia hidup kembali, dan setelah bangun melihat sang ayah didekatnya, dikatakannya “Ampuni aku ayah, ampuni aku Naga Besukih, aku berjanji mulai detik ini akan berubah..”
“Iya anakku, aku maafkan, aku senang mendengarnya. Namun ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Kita harus berpisah.. Kau harus tinggal disini untuk dididik oleh Naga Besukih” kata Sidhi Mantra lembut dengan senyuman.
Sidhi Mantra lalu menggoreskan tongkatnya di atas tanah. Membuat garis pemisah antara ia dan putranya. Dengan cepat dari garis itu keluar air. Menggenang semakin deras dan membentuk peraiaran yang luas. Perairan itulah yang kini kita kenal sebagai Selat Bali yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa.