Dalam istilah bahasa kita di Indonesia sekarang ini ada istilah ‘berdebat seperti pokrol bambu’. Hal ini untuk merepresentasikan perdebatan antara dua orang yang tidak ada yang mau mengalah. Tak ada habisanya, tidak ada ujungnya atau sering disebut juga dengan debat kusir.
Koran Tua Belanda dengan judul Tulisan ‘De Pokrol Bamboe in de Desa’ |
Istilah Pokrol Bambu disinyalir telah ada setidaknya seratus tahun yang lalu, yang mengacu pada sebuah profesi hukum di Bumi Hindia Belanda: Pengacara. Menariknya adalah, mengapa mereka dijuluki dengan ‘pokrol bambu’? Lalu apa arti pokrol bambu’ yang mulai dipahami oleh peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dalam materi Sejarah Pengacara?
Berdasar dari Koran Kuno Belanda, ‘Algemeen Handelsblad’ terbitan tanggal 22 Oktober 1913 (lebih dari seratus tahun yang lalu) sedikitnya kita dapati pencerahan mengapa oknum-oknum pengacara yang banyak berseliweran di Desa disebut dengan ‘pokrol bamboe’.
Pokrol adalah penyebutan lidah lokal Hindia Belanda untuk kata ‘procureur’ (dari bahasa Latin) yang bermakna ‘pengacara’. Koran ini juga mencoba menjelaskan mengapa ada embel-embel ‘bamboe’ pada kata pokrol ini.
Wartawan koran ini menulis bahwa bambu adalah tanaman yang banyak dijumpai di pulau Jawa. Jenisnya pun banyak dan beragam. Ada bambu tali, bambu gombong, bambu bitung, bambu apus. Dari nama Bambu Apus yang terakhir disebutkan tadi, Istilah Pokrol Bambu ini berasal. Jadilah Pokrol Bambu Apus.
Apus sendiri, dalam bahasa Jawa memiliki arti ‘menipu’ atau ‘memperdaya’. Lantas kata ‘bambu apus’ dikonotasikan dengan ‘oplichter’ (bahasa Belanda yang bermakna ‘penipu’) atau ‘crook’ dalam bahasa Inggris. Jadi nama lengkapnya pengacara ini adalah ‘pokrol bambu apus’, yang dalam perjalanan waktu disingkat saja dengan istilah ‘pokrol bambu’.
Nampaknya sudah dari ‘tempo doeloe’ banyak oknum pengacara dianggap berlaku culas, pandai memutarbalikkan fakta, yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam. Dengan keahlian bersilat lidah, Pokrol tadi menjadi pengacara bagi tuan tanah di desa-desa, melawan petani.
Untuk memberikan penampilan yang meyakinkan, Pokrol Bambu berpakaian perlente yang terasa aneh bahkan asing di mata penduduk desa waktu itu. Mereka mengenakan pakaian kombinasi jas dari kain laken, blangkon Solo dan scarf, topi Panama, sepatu kanvas lengkap dengan tongkat rotannya.
een lakensche jas, Solosche kam en hoofddoek, Panama, zeildoek schoenen en een vervaarlijke wandelsto
Penghasilan Pokrol Bambu ini pun tak kalah hebatnya dengan pengacara kondang zaman sekarang ini. Karena tindak tanduknya yang ‘bengkok’ ini, tak jarang Pokrol Bambu ini justru diseret ke meja hijau. Yang jelas petani miskin tak pernah bersimpati kepada mereka, dan ini terbukti dengan julukan yang disandangkan kepada mereka ini yaitu ‘pokrol bambu’.
Sekiranya, inilah sejarah istilah ‘pokrol bambu’ yang berhasil kami dapatkan dari salah satu artikel berjudul Pokrol Bambu. Artikel itu sendiri berangkat dari koran tua Belanda yang diberi judul ‘De Pokrol Bamboe in de Desa’.